MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) -Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah membentuk Panitia
Kerja (Panja) yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Mengenai RUU inisiatif
tersebut, Komisi Kejaksaan mengusulkan tujuh poin yang dapat menjadi
pertimbangan Komisi III dalam pembahasan RUU Kejaksaan.
Adapun tujuh poin
diantaranya, Jaksa Agung berasal dari Jaksa, pencantuman asas dominus litis,
pengecualian Jaksa dari Aparatur Sipil Negara (ASN), kewenangan Jaksa Agung
beracara di Mahkamah Konstitusi, kewenangan Kejaksaan dalam perampasan aset,
Kejaksaan sebagai central authority dan pengamanan terhadap Jaksa dan keluarga.
Untuk poin ketiga,
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak menjelaskan, pengecualian jaksa dari
ASN lantaran jaksa memiliki karakteristik kekhususan yang tidak dimiliki oleh
ASN.
Terdapat lima alasan
seorang jaksa perlu dikeluarkan dari ASN. Pertama, jaksa memiliki lembaga
pengawas khusus. Di mana, pengawasan terhadap kinerja profesi jaksa dilakukan
oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Komisi Kejaksaan selaku pengawas
eksternal.
"Sedangkan
pengawasan terhadap ASN dilakukan oleh komisi aparatur sipil negara. Kedua,
profesi Jaksa tidak dapat dimasukkan dalam rumpun jabatan fungsional PNS,"
kata Barita dalam RDPU RUU Kejaksaan bersama Komisi III DPR RI, Rabu
(17/11/2021).
Ketiga, pengisian
jabatan pimpinan tinggi di kejaksaan berbeda dengan ketentuan di undang-undang
ASN. Barita mencontohkan, untuk Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Kejaksaan
Tinggi tentu tidak dilakukan dengan open bidding yang terbuka tetapi
disesuaikan dengan undang-undang.
Keempat, adanya putusan
Mahkamah Agung Nomor 30/P/HUM tahun 2020 yang pada pokoknya menegaskan profesi
Jaksa tidak akan hilang meski pun Jaksa tersebut ditugaskan di luar instansi
kejaksaan.
Kelima, dalam sistem
peradilan pidana hakim dan penyidik Polri bukan seorang PNS, sementara Jaksa
masih dikategorikan sebagai PNS atau ASN. Ketika pemerintah melakukan
moratorium penerimaan ASN, membuat kejaksaan tidak dapat menambah pegawai baru
lantaran status Jaksa sebagai ASN.
"Mengenai merekrut
SDM, Kepolisian dapat setiap tahun merekrut anggota kepolisian, hal ini
berdampak kepada Kejaksaan yang masuk ke dalam ASN, terdapat kebijakan
moratorium selama beberapa tahun berdampak pada kekurangan tenaga jaksa dalam
pelaksanaan tugasnya, kalau dia diberikan status kekhususan maka hal ini bisa
diatasi," jelasnya.
Maka, Komisi Kejaksaan
mengusulkan agar RUU Kejaksaan mengatur bahwa pegawai kejaksaan terdiri dari
jaksa dan ASN.
"Terhadap aparatur
sipil negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b berlaku ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara, tapi mengenai
pegawai kejaksaan diatur dalam peraturan pemerintah," ungkapnya.
Selain itu Komisi
Kejaksaan juga menyoroti mengenai Jaksa Agung harus berasal dari Jaksa. Hal
tersebut karena kejaksaan juga adalah bagian dari lembaga peradilan.
Barita menegaskan,
perlu ada penambahan syarat menjadi Jaksa Agung yakni lulus pendidikan dan
pelatihan pembentukan Jaksa. Jaksa Agung juga harus memiliki kompetensi
manajerial yang telah teruji dan berasal dari kalangan internal Kejaksaan,
sehingga memiliki pemahaman yang baik terhadap kultur, karakteristik organisasi
dan tata kerja serta peraturan-peraturan internal di Kejaksaan.
Jika berkaca pada
institusi TNI dan Polri, pimpinan tertinggi di kedua lembaga tersebut yaitu
Kapolri dan Panglima TNI berasal dari internal. Komisi Kejaksaan menilai
apabila Jaksa Agung berasal dari Jaksa, dengan demikian akan mempercepat proses
perubahan karena telah memahami sejak dini akan karakteristik dan budaya
organisasi tersebut.
0 Comments