MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) - Konflik antara Rusia
dan Ukraina yang melibatkan Amerika Serikat (AS) dan Pakta Pertahanan Atlantik
Utara (The North Atlantic Treaty Organization/NATO) masih juga belum usai.
Meski ada "gencatan senjata" yang akan dibicarakan diinisiasi Prancis
dan Jerman, perdamaian belum 100%.
Konflik kedua negara
mantan "Uni Soviet" itu membawa militer NATO merapat ke
Eropa Timur. Beberapa waktu lalu, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan
aktivitas NATO di dekat perbatasan Rusia tidak dapat diabaikan militer Rusia.
"Tindakan ini dan
peningkatan aktivitas NATO di dekat perbatasan kami tidak dapat diabaikan oleh
militer kami, yang bertanggung jawab atas keamanan negara kami," kata
Peskov berbicara pada awal pekan ini, dikutip dari kantor berita TASS.
"Bagaimanapun, ada
proses latihan, manuver, dan pengembangan militer yang konstan yang tidak
pernah berhenti dan akan terus berlanjut," jelasnya.
Rusia sendiri telah
mengirimkan kapal perang Stoiky dan Soobrazitelny ke Laut Baltik. Ini untuk
berpartisipasi dalam latihan perang angkatan laut besar-besaran di kawasan itu.
Manuver angkatan laut
juga akan fokus pada langkah-langkah oleh Angkatan Laut dan Angkatan Udara
untuk melindungi kepentingan nasional Rusia di samudra. Ini juga akan melawan
ancaman militer dari arah laut dan samudera ke Rusia.
Persoalan Rusia dan
Ukraina kompleks. Bukan hanya melibatkan klaim wilayah, dalam hal ini Krimea
yang dicaplok Rusia tahun 2014, tapi juga hegemoni Rusia dan Barat.
Sejak revolusi terjadi
di tahun yang sama, yang menyingkirkan pemimpin pro-Rusia di negara itu,
Ukraina semakin dekat dengan Barat. Bahkan Ukraina berniat menjadi bagian NATO.
Rusia menentang ini
terjadi. Dikhawatirkan akan ada pangkalan militer NATO di dekat Rusia. Dalam
pembicaraan damai Putin kerap meminta jaminan AS dan NATO terkait hal tersebut.
Namun selalu deadlock, termasuk beberapa waktu lalu.
Terbaru, Kamis (27/1/2022),
China pun 'turun gunung'. Bukan dalam arti mendukung serangan militer tapi
berkomentar meminta masalah segera disudahi dan tidak berkepanjangan.
China buka suara
mengenai eskalasi militer yang terjadi. Negara pimpinan Presiden Xi Jinping itu
menyebut bahwa permasalahan ini harus diselesaikan secepatnya.
Dalam sebuah panggilan
telepon bersama Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken, Menlu China Wang
Yi menekankan masalah keamanan yang melibatkan Rusia merupakan sesuatu yang
sangat serius. Ia juga meminta AS agar tidak membesarkan dominasi militernya di
sana.
"Menlu
Wang mengatakan keamanan regional tidak dapat dijamin dengan memperkuat atau
bahkan memperluas blok militer," tulis pernyataan Kemenlu C Konflik ini
sendiri menjadi perhatian RI. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewaspadai
kondisi geopolitik tersebut, sebab ada indikasi akan menyeret RI.
"Yang harus kita
waspadai baru ini adalah geopolitik karena yang terjadi seperti Rusia dengan
Eropa NATO dan Amerika Serikat (AS) di Ukraina," kata Sri Mulyani dalam
rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (27/1/2022) kemarin.
Sri Mulyani mengatakan
ketegangan ini memicu ketidakstabilan di pasar global. Sebagaimana diketahui,
indeks saham utama Rusia jatuh dan bank sentral menghentikan pembelian mata
uang asing setelah mata uang Rubel merosot.
Jika kondisi ini terus
terjadi, kata Sri Mulyani, maka bisa mempengaruhi langsung harga komoditas
khususnya energi dan RI, sebagai pengimpor bahan bakar minyak (BBM), akan
terkena imbas cukup berat dari sisi APBN.
"Itu mempengaruhi
dampaknya langsung ke komoditas energi, gas maupun minyak," tambahnya.
Sumber : CNBC Indonesia
0 Comments