Gambar
diambil saat Presiden RI menjadi Ketua KTT G20. @Kompas.com
MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) -Indonesia telah resmi
memegang Presidensi Group of Twenty atau G20 tahun 2022.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 2022 itu mengambil tema Recover
Together, Recover Stronger.
Dengan
adanya Presidensi G20 itu, Indonesia dinilai bisa mengambil kesempatan baik
untuk tampil jadi penengah dalam perdamaian Rusia dan Ukraina. Salah satu
caranya, yaitu upaya terbuka untuk penyelesaian konflik adalah melalui Majelis
Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (MU PBB).
Karena
seperti diketahui, sejak Kamis kemarin 24 Februari 2022, Presiden Rusia
Vladimir Putin mengesahkan "Operasi
Militer Khusus" di wilayah Donbass dan Ukraina mengkonfirmasi bahwa
target militer di seluruh negeri sedang diserang.
"Indonesia
dapat mengambil peran ini mengingat Indonesia saat ini memegang Presidensi G-20
dan memiliki kewajiban konstitusional untuk turut dalam ketertiban dunia,"
ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana kepada Liputan6.com di
Jakarta, Jumat, (25/2/2022).
Menurut
Hikmahanto, Presiden Joko Widodo atau Jokowi dapat mengutus Menlu Retno Marsudi
untuk melakukan shuttle diplomacy dengan melakukan pembicaraan
ke berbagai pihak, termasuk Presiden MU dan Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu
Ukraina, Menlu negara-negara Eropa Barat dan AS.
Berikut
sederet tanggapan Indonesia bisa ambil kesempatan jadi penengah dalam
perdamaian Rusia dan Ukraina dihimpun Liputan6.com:
1. Ekonom Indef
Publik
internasional, termasuk negara-negara Barat, digegerkan dengan perang Rusia
Ukraina yang baru meletus.
Meski
ketegangan Rusia Ukraina dapat memunculkan dampak yang cukup signifikan bagi
ekonomi, Indonesia ternyata masih bisa mengambil dampak positif dari konflik
tersebut. Hal yang bisa dipertimbangkan sebagai peluang, bahkan dalam jangka
waktu dekat.
Ekonom
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira,
mengatakan bahwa Pemerintah harus bisa melakukan intervensi dengan mengajak
negara-negara yang sedang dalam konflik, termasuk Rusia dan Amerika Serikat,
untuk duduk bersama dalam forum G20, membahas resolusi dari konflik.
"Indonesia
bisa menjadi penengah karena tidak memiliki kepentingan langsung terhadap
konflik yang ada di Ukraina," jelas Bhima Yudhistira kepada Liputan6.com, Jumat (25/2/2022).
"Kalau
itu bisa dilakukan, sebagai Presidensi G20 Indonesia juga akan dianggap
sukses," ujar dia. Peluang lainnya, adalah menarik potensi investasi ke
Indonesia.
"Seperti
relokasi pabrik besi dan baja, kemudian beberapa pabrik elektronik maupun
otomotif, sparepart otomotif, agar dilakukan pendekatan kepada produsen yang
memiliki basis produksi di Rusia maupun Ukraina untuk segera beralih ke Indonesia,
dan disiapkan insentif khususnya," ungkap Bhima.
Sementara
dalam kemungkinan terburuk, Bhima menyebut, dampak ekonomi Indonesia dari
ketegangan Rusia-Ukraina akan paling terasa di sektor keuangan.
Hal ini
terlihat dari kondisi Rupiah yang sudah melemah dan bergerak di Rp 14.500, dan
bisa terus bergerak mendekati level Rp 15.000.
"Dalam
kondisi konflik, jika eskalasinya semakin meluas dan melibatkan banyak negara,
ini bisa berdampak pada stabilitas di kawasan, dan tentunya ini akan merugikan
prospek pemulihan, stabilitas moneter yang ada di Indonesia, karena bertepatan
dengan tapering off dan kenaikan suku bunga yang terjadi di negara-negara
maju," kata Bhima.
Harga
komoditas, juga menjadi efek ekonomi yang bisa dihadapi Indonesia.
"Dengan
minyak mentah yang sudah tembus USD 100 per barel, akan meningkatkan inflasi
dan membuat biaya pengiriman (logistik) menjadi jauh lebih mahal. Efeknya
adalah harga kebutuhan pokok semakin meningkat, daya beli masyarakat semakin
rendah, dan efek terhadap subsidi energi juga akan membengkak cukup
singnifikan," papar Bhima.
"Karena
pada asumsi makro APBN, harga minyak hanya tercatat USD 63 per barel, jadi ini
berbanding jauh antara minyak yang ditetapkan dalam APBN, maupun harga minyak
mentah yang sudah ada dilapangan. Maka imbasnya pasti ada pembengkakan dari
subsidi energi yang signifikan," lanjut dia.
Dengan
demikian, Bhima menyarankan, Pemerintah baiknya segera melakukan APBN perubahan
untuk menyesuaikan kembali beberapa indikator khususnya nilai tukar rupiah,
juga inflasi.
"Karena
inflasinya bisa lebih tinggi dari perkiraan, dan perlu dilakukan antisipasi
seperti tambahan dana PEN, yang sebagian mencakup stabilitas harga pangan dan
harga energi. Karena ini serius sekali pada stabilitas dan pemulihan ekonomi
sepanjang 2022," imbuhnya.
"Jadi
ketika Pemerintah ingin menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, maka
harus dipastikan stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat baik minyak
goreng, kedelai, maupun komoditas lainnya, juga BBM (Pertamax-Pertalite), agar
terjaga hingga akhir tahun," tegas Bhima.
2. Guru Besar Hukum Internasional UI
Guru
Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai
Indonesia dapat memiliki peran dalam perdamaian Rusia Vs Ukraina. Salah satu
caranya, yaitu upaya terbuka untuk penyelesaian konflik adalah melalui Majelis
Umum PBB.
"Indonesia
dapat mengambil peran ini mengingat Indonesia saat ini memegang Presidensi G-20
dan memiliki kewajiban konstitusional untuk turut dalam ketertiban dunia,"
kata Hikmahanto kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat,
(25/2/2022).
Dalam MU
PBB, kata dia, tidak ada hak veto dan semua negara anggota memiliki satu suara
yang sama.
Presiden
Jokowi dapat mengutus Menlu Retno Marsudi untuk melakukan shuttle diplomacy
dengan melakukan pembicaraan ke berbagai pihak, termasuk Presiden MU dan Sekjen
PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, Menlu negara-negara Eropa Barat dan AS.
Menlu
juga perlu melakukan pembicaraan dengan Menlu berbagai negara di Asia Afrika
Eropa Timur hingga Amerika Latin mengingat bila saling serang yang terjadi di
Ukraina dibiarkan terus akan menjadi cikal bakal Perang Dunia III
Dalam
sejarahnya, kata Hikmahanto, Majelis Umum PBB pernah mengeluarkan resolusi yang
disebut sebagai Uniting For Peace pada tahun 1950 saat pecah perang di
Semenanjung Korea.
"Dalam
resolusi tersebut dapat meminta negara-negara yang bertikai untuk segera
melakukan gencatan senjata. Bila seruan ini tidak digubris maka MU PBB dapat
memberi mandat kepada negara-negara untuk mengerahkan pasukan terhadap negara
yang tidak mematuhi gencatan senjata," ujarnya.
Hikmahanto
mengatakan, operasi milter yang dilancarkan oleh Rusia dan serangan balik oleh
Ukraina berpotensi menjadi Perang Dunia III.
Untuk
mencegah hal itu, Eropa Barat dan Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi
ekonomi kepada Rusia.
Namun
menurutnya, sanksi tersebut tidak akan efektif. Pertama, sanksi ekonomi baru
akan terasa di level masyarakat Rusia dan para elit dalam waktu 6 bulan bahkan
satu tahun ke depan.
"Kedua,
Rusia harus dibedakan dengan Iran ataupun Korea Utara yang masih sangat
bergantung pada banyak negara," kata Hikmahanto.
Ketiga,
kata dia, Rusia akan dibantu oleh sekutu-sekutunya, bahkan oleh China yang
melihat potensi keuntungan secara finansial.
Menurut
Hikmahanto, penyelesaian melalui Dewan Keamanan PBB pun akan tidak membuahkan
hasil mengingat di dalam DK PBB ada Rusia yang merupakan anggota tetap yang
memiliki hak veto.
"Apapun
draf resolusi yang bertujuan untuk melumpuhkan Rusia secara militer akan diveto
oleh Rusia," jelas dia.
0 Comments