MAJALAHJURNALIS.Com -Beberapa hari ini ruang publik kita dikejutkan atas
keputusan Majelis Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia yang membuat
rekomendasi pemecatan keanggotaan Prof. Dr. Dr Terawan Agus Putranto, SpRad(K)
dari keanggotaan IDI. Surat rekomendasi itu membuat geger karena dibacakan
dalam Muktamar ke 31 IDI di Banda Aceh. Beberapa hal yang menjadi alasan MKEK adalah dr
Terawan Agus Putranto melakukan promosi kepada masyarakat luas tentang Vaksin
Nusantara sebelum penelitian selesai. Kedua, yang bersangkutan bertindak sebagai Ketua
dari Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Klinik Indonesia (PDSRKI) yang
dibentuk tanpa melalui prosedur yang sesuai dengan tata laksana dan organisasi
IDI. Ketiga; mengeluarkan instruksi kepada seluruh Ketua
cabang dan Anggota PDSRKI di seluruh Indonesia agar tidak merespon ataupun
menghadiri acara PB IDI. Keempat; dr Terawan Agus Putranto telah mengajukan
permohonan perpindahan keanggotaan dari IDI Cabang Jakarta Pusat ke IDI Cabang
Jakarta Barat yang salah satu syaratnya adalah mengisi form mutasi keanggotaan. Selain itu dr Terawan telah melakukan promosi metode
Digital Subtraction Angiography (DSA) atau yang lebih dikenal dengan terapi 'Cuci
Otak'. Menurut MKEK tindakan promotif itu seharusnya belum
boleh dilakukan sebelum uji klinis selesai. Jika kita lacak lebih ke belakang, rekomendasi
pemberhentian sementara keanggotaan dr Terawan Agus Putranto di IDI pernah
dilakukan pada tahun 2018, tepatnya rentang 26 Februari 2018 hingga 25 Februari
2019. Mungkin akibat keputusan ini pula hubungan dr
Terawan Agus Putranto saat menjabat sebagai Menteri Kesehatan dengan PB IDI
terus menegang. Situasi ini tentu tidak produktif di tengah upaya
kita berperang melawan pandemi covid-19 dan berbagai gangguan kesehatan rakyat
lainnya. Jumlah dokter dan tenaga kesehatan kita sangat rendah
jika dibandingkan dengan negara negara tetangga kita di ASEAN. Rasio dokter
kita tahun 2020 terendah kedua di ASEAN, yakni 0,4 per 1000 pasien, jumlah
perawat 2,1 per 1000 pasien. Padahal negara negara yang ekonominya di bawah kita
seperti Timor Leste, Thailand, Vietnam, dan Myanmar, jumlah dokternya sudah di
atas 0,5 dokter per 1.000 pasien. Bahkan Tiongkok yang jumlah penduduknya jauh di atas
kita, jumlah dokternya 2 per 1000 pasien. Situasi ini sungguh memalukan bila
kita jadikan cermin. Saya mengajak agar melihat kepentingan strategis
yang lebih besar, yakni kepentingan kesehatan nasional kita. Dengan sama sama
melihat kepentingan lebih besar, yakni kepentingan nasional kita, energi yang
ada dapat kita alokasikan untuk menopang kepentingan lebih besar tersebut. Jika merujuk pada ketentuan Undang Undang No 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, peran Konsil Kedokteran Indonesia sangat
besar. Pasal 29 Undang-Undang No 29 tahun 2004 mengatur
bahwa setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran wajib memiliki surat
tanda registrasi dokter yang dikeluarkan oleh konsil kedokteran Indonesia. Bahkan sesuai Pasal 56 tentang Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia bertanggungjawab kepada Konsil Kedokteran
Indonesia. Mengacu pada ketentuan ini, saya berharap Konsil Kedokteran
Indonesia proaktif membantu menyelesaikan persoalan ini dengan win win solution. Saya berharap para pihak, dalam hal ini dr Terawan
Agus Putranto, PB IDI, Konsil Kedokteran Indonesia dan Menteri Kesehatan untuk
melakukan langkah langkah yang produktif, antara lain;
Diprakarsai dan dimotori oleh Menteri Kesehatan,
para pihak diatas, termasuk Konsil Kedokteran Indonesia membangun dialog
produktif, dan tidak mengedepankan keputusan legal formal semata tanpa upaya
upaya dialog yang produktif dan berkelanjutan. Dengan melihat pertimbangan
strategis yang lebih besar, yaitu pembangunan kesehatan nasional, dimana kita
membutuhkan dokter profesional, inovatif, dan produktif.
Saya berkeyakinan para dokter adalah insan yang
murah hati, kepala jernih, dan tidak tercemar berbagai kepentingan luar. Oleh
sebab itu tanpa bermaksud mencampuri otoritas MKEK, saya menghimbau dengan
kebesaran hati untuk meninjau kembali rekomendasi pemecatan keanggotaan dr
Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI.
Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia, PB
IDI kiranya dapat memfasilitasi langkah dr Terawan Agus Putranto dalam upaya
medis untuk mempromosikan vaksin nusantara, dan metoda DSA agar bisa memenuhi
kaidah kaidah klinis, yang sesuai dengan standar dan prosedur yang diatur oleh
PB IDI dan Undang Undang Kesehatan. Namun berbagai upaya tersebut harus tetap
mempertimbangkan kepentingan kerahasiaan nasional, agar upaya promosi tersebut
merupakan karya medis dr Terawan Agus Putranto yang harus kita hargai dan bisa
menopang kepentingan kesehatan kita.
Seluruh pemangku kepentingan pada sektor kesehatan
agar selalu menciptakan suasana kondusif bagi berbagai upaya preventif, dan
promotif oleh dokter dan tenaga kesehatan untuk memajukan standar dan pelayanan
kesehatan nasional, sebab sektor kesehatan merupakan sektor dasar yang menopang
Indeks Pembangunan Nasional. Saya memahami bahwa sektor kesehatan terkait erat
dengan kepentingan industri kesehatan, dan farmasi. Saya juga melihat banyak
dokter terafilisasi dengan berbagai kelompok politik dan organisasi
kemasyarakatan.
Saya berharap sebagai anggota apalagi pengurus IDI
untuk selalu mengabdikan diri bagi pemajuan kesehatan nasional. Melepaskan diri
dari berbagai kepentingan di luar medis dalam bertindak dan mengambil keputusan
keputusan untuk tujuan pemajuan kesehatan nasional.
Sumbangan pemikiran ini kiranya dapat memotivasi
para pihak berketad kuat mencari berbagai upaya produktif, yang solusi dan
tidak saling mengalahkan . (Penulis adalah Ketua Badan Anggaran DPR yang juga merupakan Ketua DPP
PDIP. Artikel ini diambil dari detik.news.com)
0 Comments