Oleh : Eddy Soesanto,
A.md
MAJALAHJURNALIS.Com (Medan) – Dalam Hukum Laut
Internasional di mana Indonesia ikut menandatangani Ratifikasinya yakni Internasional
On The Law Of The Sea, Convensi WINA Tahun 1982 menetapkan batas klaim laut
yakni;
1.
Batas Laut Territorial 12 mil.
2. Batas Zee 24 mil dari
pulau terluar.
3.
Baras Continental / Benua yakni 200 mil dan
4.
Batas atas dasar Palung Laut.
Karena China sudah mendirikan Pangkalan
Militer dekat dengan Natuna maka dengan sendirinya otomatis dapat mengklaim
pulau pulau dengan radius 200 mil, termasuk NATUNA, Dan berhak menguasainya.
Artinya gesekan antara China
dengan Indonesia hanya tinggal menunggu detik perdetik, ditambah hutang Indonesia
maka 2 case itu bisa membawa Republik Indonesia ke Mahkamah Internasional atau
jadi dasar Invasi Fisik China.
Atas dasar Hukum Laut Internasional dan
Hutang Indonesia maka kapan saja mereka bisa menyerang menginvansi dan menuntut
Indonesia ke Mahkamah Internasional.
Kita Rakyat Tentulah Harus Siaga Atas Ancaman China
Wajar China dalam negeri
mulai arogan karena mereka tahu bahwa Tiongkok punya Kekuatan Hukum dan Militer
untuk memaksa Indonesia mematuhi resolusi mereka.
Maraknya keinginan
Konglomerat Tionghoa untuk membangun pemukiman melalui Reklamasi dan kini
membangun Pemukiman di wilayah IKN sebagai Pemegang Pembangunan Otoritas maka
jelas itu adalah punya nilai positip dan negatif bagi Hankamnas secara
Geopolitik dan Geostrategis.
Dan kini juga merebak
arogansi Konglomerat Tionghoa dengan menggunakan kekuatan Aparat Satpol PP dan
bahkan TNI memporak-porandakan ladang dan pemukiman rakyat dengan dalih
berkedok kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan pembangunan padahal
tak lain penggusuran itu untuk Bisnis Konglomerat Tionghoa yakni Rumah Mewah yang
hanya mampu di miliki Pengusaha Tionghoa dan Elit Pejabat bukan para rakyat
kecil seperti buruh, guru-guru atau pegawai rendahan.
Peristiwa di Desa Helvetia, Desa Sampali, Desa Bangun Sari yang mana terjadi penggusuran yang sangat Brutal dan gila-gilaan yang tak lain mengatasnamakan negara padahal tak lain untuk Konglomerat Tionghoa dan setelah menggusur pribumi mereka tetap membangun tanpa IMB, walaupun sudah masuk gugatan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, sungguh luar biasa mereka sudah menjadi tuan rumah bahkan sudah menjadi raja tidak perlu ada imb dan tidak perduli sudah gugatan dipengadilan negeri lubuk pakam.
Gubernur Sumatera Utara,
Bupati Deli Serdang ,Pangdam I BB tutup mata dan mengaminkan kebrutalan itu. Pagar
tembok yang di bangun oleh Tionghuo di Medan Helvetia.
Bukti rakyat digusur
seolah-olah demi negara padahal demi Perusahaan dan Pengusaha Konglomerat
Tionghoa. Wartawan yang meliputpun tak luput dari pembantaian aparat PTPN II
yang ikut juga Satpol PP Deli Serdang dan TNI.
Perjuangan rakyat untuk
memiliki tanah hunian terasa terancam jika huniannya sudah di incar diplot
memiliki nilai ekonomis oleh Konglomerat Tionghoa.
Mudah mudahan di tahun 2024
ini kita bisa merubah pola Kepemimpinan Nasional, sudah miris kehidupan saat
ini, dari aspek pendidikan, ritual ibadah, hubungan kekerabatan dan bahkan
agama pun ikut dileceh-lecehkan.
Sampai kapankah ini jika
Idiologi dan Pola pola penguasa memanegemen negara seperti ini..Idiologi rusak,
teritorial terancam, hidup kita sangat sangat tidak nyaman.
Nampaknya kita seperti
abad 19 dan awal kemerdekaan , nampaknya kita harus bangkit , diam kita makin
terpuruk, korupsi, kolusi nasional dan pada asing akan meluluhlantakkan sendi
kehidupan kita.
Kita jadi sampah dan
pesakitan di tanah tumpah darah kita sendiri. Konglomerat Tionghoa sudah macam
tuan rumah dan bahkan raja di tanah leluhur kita, itu realitas sosial naif. (Penulis adalah Ketua Hipakad63 Sumatera
Utara dan Sekertaris Umum Laskar Janur Kuning).
0 Comments