Gus
Yahya (Foto: Tangkapan layar YouTube MUI)
MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta)
-
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus
Yahya mengatakan para ulama NU sepakat bahwa kategori nonmuslim atau kafir
tidak relevan dalam konteks negara modern.
Gus
Yahya mendorong ada cara untuk mengubah pola pikir umat Islam terkait kategori
itu.
Hal
itu disampaikan oleh Gus Yahya dalam webinar dengan tema 'Turn Back
Islamophobia' yang digelar oleh Komisi HLNKI MUI yang disiarkan di YouTube MUI,
seperti dilihat Kamis (31/3/2022).
Gus
Yahya awalnya memaparkan bahwa islamofobia bukanlah gejala baru.
"Islamofobia
ini bukan gejala baru. Ini sesuatu yang sudah lama mengendap, bahkan sebagai
mentalitas di kalangan masyarakat nonmuslim di berbagai belahan dunia bahkan
sudah pula dimapankan kurang lebih dalam wacana keagamaan mereka di
lingkungan-lingkungan nonmuslim itu," kata Gus Yahya.
Islamofobia
itu, jelas Gus Yahya, adalah bersifat lokal di lingkungan nonmuslim. Gus Yahya
lalu menyinggung kafirofobia di lingkungan Islam.
"Di
sisi lain sebetulnya kita harus akui juga dari kalangan muslim ada juga
kafirofobia juga. Dan kafirofobia ini mengendap juga sebagai mentalitas di
kalangan umat Islam, bahkan juga masuk di dalam wacana-wacana keagamaan di
lingkungan Islam," katanya.
"Kalau
saya sebut kafirofobia ini bisa kepada siapa saja yang nonmuslim, apakah
judiofobia, kristofobia, atau hindufobia dan sebagainya, secara umum itu juga
masuk dalam wacana keagamaan Islam itu sendiri," lanjutnya.
Lebih
lanjut Gus Yahya memaparkan istilah islamofobia hingga kafirofobia itu muncul
karena warisan dari sejarah yang panjang. Dia menyinggung perang yang panjang
antara dunia Islam dan dunia nonmuslim.
"Kenapa
kita punya yang seperti ini baik di lingkungan nonmuslim ada islamofobia, di
lingkungan umat Islam ada kafirofobia, karena kita mewarisi sejarah dari
konflik yang panjang sekali selama berabad-abad antara Islam melawan dunia
nonmuslim," sebut Gus Yahya.
"Misalnya
seperti selama era Turki Usmani 700 tahun dari kekuasaan Turki Usamani itu
tidak pernah berhenti sama sekali kompetisi militer melawan kerajaan-kerajaan
Kristen Eropa di Barat, begitu juga di timur ada Dinasti Mughal yang sepanjang
waktu yang cukup lama terlibat konflik yang sangat tajam dengan umat Hindu di
India, khususnya India bagian utara," sebutnya.
Sejarah
persaingan agama itu, kata Gus Yahya, masih mengendap hingga saat ini. Hal itu
telah menjadi pola pikir masyarakat.
"Ini
semua sejarah yang kita warisi sekarang dan sudah mengendap sebagai mindset
kita sekarang. Sementara wacana tentang moderasi dan toleransi itu justru
sesuatu yang baru. Nah, yang terjadi sebetulnya bahwa dulu dunia ini memang
merupakan rimba persaingan antar-identitas, termasuk identitas-identitas agama.
Di situ kerajaan-kerajaan dengan identitas agama, negara dengan identitas agama
berkonflik satu sama lain, bersaing secara politik dan militer dengan membawa
label agama masing-masing," katanya.
Kategori Kafir Tak Relevan di Negara Modern
Selain
itu, Gus Yahya memaparkan status kategori nonmuslim. Dia mengatakan bahwa ulama
NU sepakat membuat kesimpulan bahwa kategori nonmulim atau kafir tak lagi
relevan dalam konteks negara modern.
"Kami
juga telah membuat wacana baru tentang status nonmuslim ini, dengan menyatakan
para ulama kami pada waktu itu membuat kesimpulan bahwa kategori nonmuslim atau
kafir sesungguhnya tidak relevan dalam konteks negara bangsa modern,"
sebutnya.
Gus
Yahya mengatakan upaya dalam mengubah kategori kafir itu harus terus dilakukan,
sehingga pola pikir masyarakat tentang hal itu harus diubah.
"Nah,
upaya-upaya seperti ini mestinya perlu kita lakukan lebih lanjut yang kemudian
disusul oleh suatu strategi untuk mentransformasikan mindset dari umat itu
sendiri, karena umat ini masih punya mindset yang cenderung memelihara
permusuhan dan kebencian satu sama lain," kata dia.
"Saya
kira ini PR kita bersama, bukan hanya PR umat Islam saja, tapi PR dari seluruh
kelompok agama di belahan mana pun," lanjutnya.
Sumber : detiknews.com
0 Comments