MAJALAHJURNALIS.Com
- Ramadhan dikenal sebagai bulan puasa
yang pelaksanaannya telah ditahbiskan oleh Al Quran untuk setiap muslim yang
telah mencapai balig dan yang mampu menjalankannya. Allah berfirman “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan
Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu,
barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”
(QS. Al Baqarah: 185). Puasa di
bulan Ramadhan dilakukan sejak matahari terbit hingga matahari terbenam.
Sebelum berpuasa, umat muslim yang mampu menjalankannya dianjurkan untuk bangun
lebih awal sebelum salat subuh untuk makan sahur. Meski
sebagai umat Islam kita sudah familiar dengan ibadah puasa di bulan Ramadhan
ini, masih ada sebagian kaum muslimin yang belum tahu bagaimana sejarah puasa
Ramadhan. Mengetahui sejarah puasa Ramadhan bisa menjadi tambahan ilmu baru
terkait Islam, sekaligus mengetahui bagaimana kasih sayang Allah kepada para
hamba-Nya. Artikel kali
ini akan mengajak Anda untuk menelusuri bagaimana sejarah puasa Ramadhan hingga
membuat amalan ini menjadi ibadah yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam di
seluruh dunia. Puasa Asyura Menahan diri
dari makan, minum dan juga syahwat biologis bukanlah perkara yang mudah bagi
banyak orang. Oleh karena itu, Allah SWT yang memahami kondisi hamba-Nya baru
memerintahkan kewajiban untuk menjalankan puasa Ramadhan di tahun ke dua
setelah hijrah ke Madinah. Perintah
untuk wajib berpuasa di bulan Ramadhan juga tidak serta merta turun begitu
saja. Sejarah puasa Ramadhan menjelaskan bahwa ada beberapa tahapan yang
dilalui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat di masa itu
sebelum puasa Ramadhan menjadi ibadah yang wajib. Melansir
dari muslim.or.id, sejarah puasa Ramadhan dimulai dengan Allah mewajibkan puasa
melalui beberapa tahap, dan tahap pertama adalah mewajibkan puasa ‘Asyura. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa ‘Asyura (tanggal 10
Muharram). Diwajibkannya Puasa Ramadhan Dalam
sejarah puasa Ramadhan, amalan ini mulai menjadi wajib secara perlahan ketika
iman para sahabat sudah semakin kuat menancap di hati. Pada momen itu, Allah
SWT mewajibkan puasa secara bertahap, di mana kaum muslimin boleh memilih
antara berpuasa atau membayar fidyah, meskipun lebih dianjurkan untuk
melaksanakan puasa. Oleh karena
itu, barangsiapa yang tidak ingin berpuasa dan memilih membayar fidyah, maka
tetap dipersilakan, meskipun mereka sebenarnya mereka mampu menjalankan ibadah
puasa. Hal ini juga
tertuang dalam hadis dari ‘Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang berkata, “Dulu, orang-orang Quraisy
berpuasa di hari ‘Asyura di masa jahiliyyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga berpuasa di hari tersebut (di masa jahiliyyah). Ketika beliau tiba
di Madinah, beliau mengerjakan puasa ‘Asyura dan memerintahkan kepada para
sahabat untuk berpuasa. Ketika
puasa Ramadhan diwajibkan, Rasulullah meninggalkan puasa ‘Asyura. Barangsiapa
yang ingin berpuasa, maka dia mengerjakannya. Dan barangsiapa yang tidak ingin
berpuasa, maka mereka meninggalkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Allah SWT juga berfirman “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itulah yang lebih
baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(QS. Al Baqarah: 184). Diwajibkan Berpuasa Bagi yang Mampu Sejarah
puasa Ramadhan berlanjut dengan diwajibkannya puasa bagi orang-orang yang
mampu. Allah SWT menurunkan ayat berikutnya untuk menghapus ketentuan hukum
dari ayat yang disebutkan sebelumnya. Hal ini
dijelaskan oleh dua sahabat, yaitu ‘Abdullah bin Umar dan Salamah bin Akwa’, “Ayat tersebut (surat Al-Baqarah ayat 184) dihapus (hukumnya) oleh
ayat berikut ini, “(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185) (Hadits
riwayat Ibnu Umar terdapat dalam shahih Bukhari. Sedangkan hadits riwayat
Salamah bin Akwa’ terdapat dalam shahih Bukhari dan Muslim) Namun, Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan jika kandungan dari surat Al Baqarah
ayat 184 tetap berlaku bagi laki-laki dan perempuan dengan kondisi tertentu,
misalnya yang sudah tua renta serta orang sakit yang kesembuhannya sudah
semakin sulit atau yang penyakitnya semakin memburuk jika harus berpuasa.
Golongan
orang yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa harus menggantinya dengan
membayar fidyah. Dengan begitu, ketentuan dari surat Al Baqarah ayat 184
(tentang pilihan untuk berpuasa atau membayar fidyah) hanya dihapus bagi
orang-orang yang mampu menjalankan ibadah puasa. Atho’
radhiyallahu ‘anhu mendengar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma membaca surat Al
Baqarah ayat 184 kemudian berkata, ”Ayat ini tidak dimansukh (dihapus hukumnya, pent). Ayat ini tetap
berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua yang tidak mampu untuk
berpuasa. Keduanya wajib memberi makan bagi orang miskin setiap hari yang dia
tidak berpuasa”. (HR. Bukhari). Sumber : Merdeka.com
0 Comments