Situasi udara kawasan Hutan mangrove
Kwala Gebang. (foto: tangkap layar)
MAJALAHJURNALIS.Com (Langkat) – Warga Dusun III Desa Kwala
Gebang Kabupaten Langkat Sumatera Utara, resah.
Kawasan hutan Mangrove
(bakau) beralih fungsi berupa tambak (ikan/udang) dan perkebunan sawit milik swasta yang terhampar
luas menggantikan kelestarian tanaman Ryzophora di pesisir pantai Langkat.
Kesimbangan ekosistem di
kawasan tersebut sangat berdampak. Meluapnya air pasang laut (Banjir Rob) di
pemukiman warga pun kerap terjadi. Abrasi tanah juga tak lagi dapat dihindari.
Lebih miris lagi, nelayan, kini sulit mendapatkan biota laut untuk memenuhi
nafkah keluarga mereka.
Ketua Lembaga Pengelola
Hutan Desa (LPHD) Kwala Gebang Buyung menyebutkan, ratusan hektar hutan
mangrove awalnya beralih fungsi menjadi tambak. Setelah itu, dikelola para
mafia untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
“Sekarang pemukiman warga
sering mengalami banjir rob dan abrasi tanah. Sering menderita kita sebagai
masyarakat di Kwala Gebang ini. Karena, kawasan hutan di sini sudah dirusak
oleh oknum–oknum yang tidak bertanggungjawab,” tutur Buyung, Jum’at (14/7/2023)
sore.
Tampak alat berat excavator sedang
melakukan pengerukan di kawasan Hutan Mangrove Kwala Gebang Langkat
Pejuang lingkungan hidup itu
mendesak pihak terkait, agar menindak tegas siapa pun oknum yang merusak
kawasan hutan mangrove. Jika tidak segera ditindak, dikhawatirkan keseimbangan
ekosistem di sana akan hancur.
Meskipun sudah dilaporkan ke
pihak terkait, kata Buyung, namun belum juga ada tindakan. Perambahan dan
perusakan hutan masih saja terjadi dan laporan masyarakat terkesan diam di
tempat.
Pada kesempatan yang sama,
tokoh adat dan masyarakat lainnya juga menyampaikan keberatannya. Warga
mengumpulkan tanda tangan, untuk menyatakan sikap menolak perambahan hutan di
desa mereka diami.
“Kami menolak dan menentang aktivitas
perambahan yang merusak hutan mangrove. Seperti yang kita lihat sekarang, hutan
kami berubah menjadi kebun sawit. Air laut pun melimpah ke desa kami,” ketus
Tokoh Adat Kwala Gebang Abdullah Atan.
Saat ini, sambung Atan,
penghasilan nelayan turun drastis. Nelayan–nelayan tradisional sulit untuk
mencari tangkapan sebagai sumber mata pencarian mereka.
|
Tokoh adat Abdullah Atan saat
menunjukkan surat pernyataan keberatan masyarakat Dusun III Kwala Gebang |
Tak ada tawar-menawar lagi,
masyarakat menolak keras perambahan dan perusakan hutan. Mereka mendesak aparat
penegak hukum (APH) dan pihak terkait untuk segera bertindak. Agar hutan
mangrove di sana dapat dilestarikan kembali seperti sedia kala.
Hingga saat ini, Sabtu
(15/7/2023) siang, alat berat jenis excavator masih melakukan perambahan pada
kordinat 4.043722 LU, 98.416229 BT. Pada kordinat tersebut, diketahui merupakan
kawasan hutan sesuai dengan SK Menhut Nomor 579/Menhut-II/2014.
Kayu–kayu bakau dari
aktivitas perambahan di sana, kerap dijadikan bahan baku bagi mafia arang.
Meski berulang kali tertangkap tangan, mafia arang tak pernah surut. Malah,
warga harus berbenturan dengan aparat.
Menanggapi hal itu, Kepala
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Sumatera Utara Ir. Yuliani
Siregar MAP memrintahkan KPH 1 Wilayah Stabat Esra Sardina Sinaga untuk menindaklanjutinya.
“Akan ditindak lanjuti,
sudah saya perintahkan KPH-nya. Kita lihat dulu kinerja ibu KPH yang baru,”
tutur Ir Yuliani Siregar MAP via pesan WhatsAppnya. (FS/tls)
0 Comments