MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) -Direktur
Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti melihat ada kesenjangan
pengetahuan tentang azas dan tata cara pemilu demokratis bekerja. Kesenjangan
pengetahuan itu membuat publik menilai sesuatu hanya sebagai boleh atau tidak. "Khususnya,
menurutku, di kalangan kaum Generasi Y/Z. Mereka belum sepenuhnya menerima apa
dan bagaimana pemilu demokratis sebenarnya. Dengan hanya mendasarkan diri pada
info-info sekilas di berbagai tayangan media sosial, mereka menebalkan makna
apa itu kecurangan pemilu, dan pemilu demokratis," kata Ray Rangkuti dalam
keterangannya, Senin (11/12/2023). Kesenjangan
pengetahuan itu, kata Ray, yang membuat mayoritas publik kurang peka terhadap
isu demokrasi. "Itulah
kiranya mengapa mereka kurang sensitif pada isu dinasti, isu putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang dinilai cacat etik, berbagai contoh ketidaknetralan
aparat, dan sebagainya. Mereka menerima atau menolaknya dengan begitu saja.
Tanpa kritisisme," ujarnya. Pasangan calon
presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) nomor 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD
terkena imbas atas kesenjangan pengetahuan tentang demokrasi tersebut. Pasangan ini
malah dinilai paling berpeluang melakukan pelanggaran seperti terekam hasil
survei LSI. Duet Ganjar-Mahfud disebut oleh 20,6% responden; Prabowo
Subianto-Gibran Rakabuming Raka 14,4%; dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar
hanya 5,4%. Hal itu
mengaburkan kondisi sebelumnya ketika putusan MK atas perkara nomor 90 tentang
batas usia capres-cawapres menjadi perbincangan karena dinilai sarat
pelanggaran etik dan isu netralitas aparat negara. Ditambah lagi,
dampak dari media sosial yang lebih mengutamakan pelanggaran salah satu calon
dibanding calon lain. Hal itu membuat nalar kritis publik semakin meredup. "Tanpa
sikap kritis, bayangan itulah mungkin hadir kala pertanyaan itu
dikemukakan," katanya. Sumber : SINDOnews.com
0 Comments