Oleh: Prof. Dr. H. Gunarto, SH. MH
MAJALAHJURNALIS.Com - Perbedangan pandangan mengenai boleh dan
tidaknya umat Islam memberikan ucapan selamat atas perayaan hari raya umat
agama lain senantiasa menjadi tema dan sekaligus polemik yang menarik untuk
didiskusikan.
Misalnya saja
bagaimana hukumnya jika seorang muslim mengucapkan selamat hari Natal kepada
umat Kristiyani. Diskusi diskusi semacam itu tentu akan semakin meruncing
manakala dibenturkan dengan aqidah dan pentingnya menjaga keharmonisan
kehidupan antar umat beragama.
Dalam Al
Qur’an surat Maryam ayat yang ke 33
وَالسَّلٰمُ
عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا
Allah SWT
mengabadikan doa Nabi Isa AS yang artinya “Dan keselamatan semoga
dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari
aku dibangkitkan hidup kembali”. Ayat tersebut membahas mengenai ucapan
selamat.
Mengenai ayat
tersebut Prof Dr Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah halaman 443-445
menyatakan dua pandangannya mengenai mengucapkan selamat hari Natal kepada umat
Kristiyani. Pertama, pandangan ulama yang melarangnya karena esensi aqidah.
Dimana pemahaman tentang Isa AS sangat berbeda antara aqidah umat Islam dengan
aqidah umat Kristiani. Sehingga supaya tidak terjadi pengkaburan akidah maka
sebagian ulama melarang mengucapkan selamat Natal oleh umat Islam kepada umat
Kristiani.
Dengan kata
lain memberikan ucapan selamat tersebut dapat menodai aqidah seorang Muslim.
Karena pemahaman terhadap Isa AS secara teologis berbeda sekali antara Islam
dan Kristen.
Sehingga
ketika seorang muslim memberikan ucapan selamat Natal sama dengan menyetujui
bahwa Isa AS adalah anak Tuhan bukan sebagai Nabi seperti dalam keyakinan umat
Islam.
Pandangan yang
kedua adalah sebagian ulama lainnya tidak melarang umat Islam mengucapkan
selamat Natal. Dengan catatan selama hal itu tidak berpotensi mengganggu aqidah
seorang Muslim, dan dilakukan dalam kerangka menjaga keharmonisan hubungan
antar umat beragama.
Prof Quraish
Shihab menyimpulkan bahwa boleh mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk
agama lain sepanjang hal itu dilakukan dengan arif dan bijaksana serta tidak
ada potensi untuk menodai aqidah seorang muslim.
Lantas
bagaimana sikap kita terkait polemik boleh tidaknya mengucapkan selamat hari
raya bagi pemeluk agama lain?. Serta bagaimana cara kita agar tetap mampu
menjaga keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama tanpa harus mengganggu
aqidah kita?.
Pertama, bahwa tidak menjadi sebuah keharusan bagi
seorang muslim memberikan ucapan selamat atas perayaan hari raya agama lain.
Dalam kitab Iqtidhou Sirotol Mustaqim karya Ibnu Taimiyah di halaman 195 dan
196 dijelaskan meskipun dalam kehidupan bermualah Nabi Muhammad berinteraksi
secara baik dengan kaum Yahudi. Sebagai salah satu contohnya Nabi pernah
berhutang ke seorang Yahudi dengan jaminan baju besi milik Nabi sendiri. Namun
demikian semasa hidupnya Nabi tidak pernah ikut bersama sama dengan kaum Yahudi
di dalam suatu perkara khsusus misalnya bersinergi untuk urusan perayaan hari
raya nonmuslim.
Orang- orang
Islam tidak pernah mengubah tradisi karena pengaruh mereka untuk bersinergi
dalam hari raya mereka. Ketika nonmuslim merayakan hari raya mereka sikap
Rosulullah SAW dan sikap orang muslim semasa itu sama seperti hari – hari
biasa.
Rosulullah dan
umat Islam senantiasa menjaga hubungan yang harmonis dengan nonmuslim, tetapi
tidak pernah ikut campur terkait hari raya mereka. Rosul dalam sejarahnya juga
tidak mengucapkan selamat ketika nonmuslim merayakan hari besar keagamaan.
Namun hal itu tidak mengurangi keharmonisan, toleransi, dan rasa kemanusiaan.
Kedua, mengucapkan selamat natal dari Muslim kepada
nonmuslim merupakan sebuah komunikasi. Bagaimana tuntunan Al Qur’an dalam
membangun sebuah komunikasi. Komunikasi yang diajarkan dalam Al Qur’an adalah
komunikasi yang benar, edukatif, dan efektif. Komunikasi yang benar edukatif,
efektif, dan terhormat itu tidak harus selalu dengan mengucapkan selamat hari
raya kepada pemeluk agama lain.
Qur’an
memberikan rambu rambu kepada kaum Muslim untuk berkomunikasi dengan kata kata
yang benar (Qoulan syadida). Hal itu dipertegas dalam surat Al Ahzab
ayat 70.
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ
Berkata yang benar artinya tidak menyalahi akidah
Islam, tidak menyalahi etika Islam, jujur, dan tidak berbohong.
Qur’an juga
memberikan kita tuntunan bagi kaum Muslim untuk berkomunikasi dengan
menggunakan komunikasi yang telah terverifikasi (diketahui baik) yaitu qoulan
makrufan. Komunikasi yang diketahui baik terkait bahasan ini yaitu yang
sesuai dengan Qur’an Surat Maryam ayat ke 33.
Surat itu
dibaca oleh umat Islam dalam keseharian yaitu selamat atas kelahiran Isa Ibnu
Mariam, Isa AS sebagai hamba dan Nabi Allah SWT. Bukan Isa sebagai anak Tuhan.
Itulah makna komunikasi yang telah terverifikasi, komunikasi yang diketahui
baik. Sebuah komunikasi yang telah diketahui dalam syariah.
Lantas
bagaimana seharusnya sikap kita dengan umat Kristiyani dalam konteks keseharian
maupun saat perayaan Natal. Allah SWT melalui Al Qur’an mendidik kaum Muslim
untuk berkomunikasi secara lemah lembut (qoulan layinan). Al Qur’an juga
memberikan tuntunan agar berkomunikasi dengan kata kata yang mulia (qoulan
karima).
Tidak menghujat
mereka, tidak menjelek-jelekan mereka, tidak merendahkan mereka, tidak
menistakan agama mereka. Demikian juga Al Qur’an memberikan tuntunan agar kaum
Muslim menggunakan komunikasi yang efektif (qoulan baligho).
Ketiga, dalam tafsir Ar Razi karya Fahrudin Ar Razi
pada juz 3 halaman 241- 242. Disebutkan tidak boleh memakai bahasa komunikasi
dengan bahasa tertentu yang membawa efek kesalahpahaman, yang berefek pada
kehidupan sosial, hukum, politik, maupun berefek pada keharmonisan sosial.
Didalam tafsir
Ar Razi disebutkan ketika Nabi SAW membacakan ilmu dihadapan para Sahabatnya
maka para Sahabat ketika itu akan mengatakan roina ya Rosulullah. Roina
diartikan “jagalah kami ya rosulullah atau peliharalah kami ya Rosulullah”.
Kata kata roina
ketika itu sangat populer di kalangan umat Islam. Sementara secara spesifik
kata roina juga populer digunakan oleh kaum Yahudi sebagai hujatan atau cacian.
Roina digunakan sebagai bahasa untuk mencaci maki, meremehkan, dan juga
menistakan.
Orang orang
Yahudi menggunakan kata roina di depan Nabi sebagai olok olok. Ketika Nabi
mengatakan “dengarlah” maka orang orang Yahudi ketika itu juga akan mengatakan
roina dengan maksud yang berbeda yaitu “kami tidak mau mendengar”.
Mereka
menggunakan kata roina dengan arti dan maksud yang berkebalikan sebagai upaya
meremehkan ucapan ucapan Nabi Muhammad.
Merespon
peristiwa tersebut Allah SWT menurunkan Surat Al Baqoroh ayat ke 104 yang
menyuruh umat Islam untuk menghentikan menggunakan kata roina. Supaya tidak
adalagi kesalahpahaman atau kata yang disalah artikan. Penggunaan kata roina
yang disalahartikan sangat membahayakan secara etika dan membahayakan secara
aqidah.
Belajar dari
peristiwa tersebut maka mengucapkan selamat hari raya Natal ada dua versi.
Pemahaman Isa AS versi Islam dan Isa versi Nasrani. Sedangkan Natal itu
spesifik terminologi milik Nasrani bukan versi Islam. Sehingga jika seorang
Muslim mengucapkan selamat Natal kepada Nasrani itu ikut ikutan versi mereka.
Menurut teori
Surat Al Baqoroh ayat 104
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقُوْلُوْا رَاعِنَا وَقُوْلُوا
انْظُرْنَا وَاسْمَعُوْا وَلِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
kata kata roina itu dihentikan. Sehingga tidak
pas jika umat Islam mengucapkan selamat Natal pada umat Kristiyani meskipun hal
itu tidak dikhawatirkan menodai aqidah.
Lantas
bagaimana menjalin keharmonisan dengan umat agama lain khususnya Kristiyani
ketika mereka sedang merayakan natal maupun dalam kehidupan keseharian?.
Maka panduan
kita sudah sangat jelas untuk bermuamalah dengan baik, berkomunikasi dengan
baik, bertindak yang baik. Tidak mengganggu mereka. Tidak mengancam mereka.
Tidak meneror mereka. Kaum muslim diajarkan mengekedepankan ahlaq yang mulia.
Contoh
toleransi umat Islam di bidang muamalah yaitu halaman rumah seorang muslim yang
dipakai untuk parkir para pemeluk Kristiyani yang sedang merayakan Natal
beberapa waktu lalu. Hal itu merupakan contoh yang menyejukkan. Dimana seorang
muslim bisa bertoleransi dengan pemeluk agama lain dengan tetap menjaga agidahnya.
Kemudian
bolehkan umat Islam melakukan perayaan Natal bersama dengan nonmuslim?. Dalam
fatwa yang dikeluarkan MUI sejak tahun 1975 halaman 331- 338.
Dengan
memperhatikan perayaan Natal bersama pada akhir akhir ini disalahartikan oleh
sebagian umat Islam dan disangka sama dengan umat Islam merayakan Maulid Nabi
SAW. Anggapan itu merupakan sebuah kekeliruan.
Fatwa MUI
menjelaskan bahwa umat Islam tidak boleh mencampuradukkan akidah dan
peribadatan agamanya dengan akidah dan peribadatan agama lain (dengan merujuk
pada surat Al Kafirun).
Dengan alasan
lagi surat Al Qur’an surat Maryam ayat 30,
قَالَ اِنِّيْ
عَبْدُ اللّٰهِ ۗاٰتٰنِيَ الْكِتٰبَ وَجَعَلَنِيْ نَبِيًّا ۙ
bahwa Isa AS
dalam ayat ini mengatakan “Saya adalah hamba Allah dengan memberikan saya
kitab dan menjadikan saya nabi”. Jelas, versi Islam bahwa Isa AS adalah
Nabi.
Oleh karena
itu MUI pada tanggal 1 Jumadil Awal 1401 H/ 7 Maret 1981 menetapkan bahwa
mengikuti upacara natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Tujuannya agar
umat Islam tidak terjerumus kepada subhat (kerancuan), kesalahpahaman, campur
aduk.
Pendapat itu
juga dikuatkan dengan tulisan Jalaludin Asyuyuti dalam kitab Ad Dur Al Manshur
Ketika Rosul SAW diajak bernegosiasi oleh tokoh nonmuslim yang mengajak Nabi
untuk bergantian beribadah dengan cara mereka dan mereka akan menyembah sesuai
dengan ibadah cara Nabi.
Kemudian Allah
menurunkan Surat Al Kafirun yang menjelaskan tidak boleh dilakukannya hal
tersebut. Sehingga negosiasi tersebut di tolak oleh Nabi Muhammad SAW. Ini
jelas bahwa peribadatan tidak boleh dicampuradukkan.
Kemudian di
dalam kitab As Sunanul Kubro karya Al Baihaqi di jilid 14 hal 113 nomor 9374.
Umar bin Khottob memfatwakan “Dan janganlah kamu sekalian umat Islam masuk pada
orang-orang nonmuslim di dalam tempat ibadah mereka di hari raya mereka.” Ini
fatwa langsung dari Umar bin Khottob. Umat muslim dilarang masuk ke
Gereja-Gereja ketika mereka merayakan hari raya.
Namun demikian
kita harus menjaga keharmonisan dengan tidak menghujat mereka, tidak menistakan
mereka, tidak mengganggu mereka, menteror mereka. Kita harus saling menghormati
mereka, menghargai mereka di dalam hal kemanusiaan.
Tetap menjaga
citra Islam dalam hal kemanusiaan berbuat baik dengan sesama muslim maupun
nonmuslim. Namun demikian hal itu tidak harus merusak akidah kita sendiri
sebagai umat Islam. *diolah dari ceramah Gus Qoyyum yang di modifikasi (26 Desember
2022)
Sumber :
Unissula
0 Comments