MAJALAHJURNALIS.Com
(Jakarta) - Pamor, citra, atau
nama baik Timnas Indonesia di pentas dunia kini telah pulih meski gagal
meraih tiket ke Olimpiade 2024. Indonesia
gagal tampil di cabang olahraga sepak bola Olimpiade Paris setelah kalah 0-1
dari Guinea pada playoff Olimpiade 2024 di lapangan latihan tim nasional
Prancis, Clairefontaine, Kamis (9/5/2024). Kendati
gagal, ini sejarah besar bagi sepak bola Indonesia. Pasalnya sudah 48 Indonesia
tak berada di posisi seperti ini. Terakhir kali Indonesia nyaris ke Olimpiade
pada 1976.
Perjalanan Garuda Muda sebelum mencapai babak playoff Olimpiade 2024 sudah
tercatat dengan tinta emas. Pertama, Indonesia lolos ke Piala Asia U-23 untuk
pertama kalinya pada edisi 2024. Kedua,
Indonesia langsung menembus babak delapan besar sebagai pendatang baru di Piala
Asia U-23. Bahkan, tim asuhan Shin Tae Yong itu melaju hingga babak semifinal. Lawan
yang ditumbangkan pun bukan kaleng-kaleng. Setelah kalah dari Qatar, Indonesia
menumpas Australia, Yordania, lantas Korea Selatan. Sayang tak bisa menang tas
Uzbekistan dan Irak. Gagal
menang atas Uzbekistan di babak semifinal dan kalah dari Irak dalam perebutan
tempat ketiga, membuat Indonesia wajib tampil di playoff Olimpiade melawan Guinea. Sebelumnya,
tak ada yang menyangka Indonesia bisa sampai pada titik ini. Bahkan target
resmi PSSI di Piala Asia U-23 2024 hanya lolos babak grup, bukan meraih tiket
Olimpiade. Pencapaian
Indonesia U-23 ini sejalan dengan torehan Timnas Indonesia di Piala Asia 2023
(2024). Pada Januari lalu Indonesia menembus babak delapan besar. Bisa
dibilang, selama 2024 ini wajah buram, suram, dan bikin geram Timnas Indonesia
selama dua dekade terakhir, sudah rontok. Kini aura positif yang terpancar. Dan,
pencapaian tahun ini bukan untuk dibesar-besarkan. Sebaliknya ini menjadi
tonggak baru untuk menatap masa yang akan datang. Pencapaian Timnas Indonesia
harus dijaga dan dikatrol. Saat
kalah 0-1 dari Guinea, cara main Timnas Indonesia U-23 berbeda dengan di
Piala Asia U-23 2024. Kondisinya memang sudah tak sama. Pemain
seperti lelah badan, hati, dan pikiran. Walau begitu beban besar dari
masyarakat tetap dipikul pemain yang kondisinya tak 100 persen. Perjuangan
tetap diangkat, meski badan minta rehat. Karenanya
kekalahan 0-1 dari Guinea dan gagal tampil di Olimpiade 2024 tak perlu
disesali. Perjalanan ini sudah luar biasa. Malah kisah ini dijadikan inspirasi
membangun fondasi prestasi. Tentu
saja fondasi itu bernama kompetisi. Tanpa ada kompetisi dari level bawah yang
baik dan terukur, asa menjadi jawara Asia dan tampil di Olimpiade berikutnya
hanya halusinasi. Vietnam,
sebagai perbandingan, pernah berada di titik ini. Tim Naga Emas menjadi runner
up Piala Asia U-23 2018 dan tim seniornya melaju ke fase ketiga Kualifikasi
Piala Dunia 2022. Namun,
begitu Park Hang Seo (pelatih kepala Veitnam) pergi, performa mereka ikut
rontok. Tim senior mereka mulai masuk angin dan generasi penerusnya belum bisa
berada di level yang sama. Vietnam
terlalu 'mendewakan' Park Hang Seo dan lupa akar rumput. Jika Timnas Indonesia
tak ingin bernasib seperti Vietnam, jawabannya cuma satu: benahi kompetisi. Kompetisi
usia muda harus menjadi fondasi. Elite Pro Academy, juga program akselerasi
seperti Garuda Select, sepantasnya digencarkan. Sepak bola akar rumput kudu
dirajut. Pada
saat yang sama kompetisi kasta tertinggi juga harus jadi tulang punggung. Sudah
saatnya PSSI menetapkan target, klub-klub Liga 1 mendominasi kompetisi Asia. Itu
akan terwujud jika akselerasi tingkat tinggi juga dilakukan untuk kompetisi,
seperti langkah yang ditempuh untuk Timnas. Hanya merias Timnas tanpa
mendandani Liga, hanya akan jadi bumerang. Shin
Tae Yong telah membuat Timnas Indonesia naik pamor, tetapi individu bukan
satu-satunya faktor. Saat ini wajib hukumnya membenahi kompetisi, agar tampil
Olimpiade bukan cuma mimpi.
0 Comments