MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) -Ini Baru Keren!!, Ketua
Umum Dewan Pers Ninik Rahayu memberikan tanggapan atas revisi RUU Penyiaran
yang disusun oleh DPR melalui Komisi I untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran. Melalui jumpa pers yang digelar di Gedung Dewan Pers,
Jl. Kebon Sirih, Jakarta, pada Selasa (14/5/2024) yang lalu. Ketua Dewan Pers Ninik
Rahayu menyampaikan bahwa upaya merevisi sebuah Undang-Undang sejatinya
merupakan hal yang biasa. Akan tetapi, Dewan Pers menilai beberapa pasal dalam
RUU tersebut bertabrakan dan kontradiktif dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers. Dewan Pers bersama konstituen menolak revisi RUU ini karena tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip kemerdekaan pers, Minggu.(26/5/24) Adapun hal-hal yang
menjadi perhatian Dewan Pers adalah sebagai berikut: 1). Dalam draf RUU
Penyiaran ada upaya untuk membedakan antara produk jurnalistik oleh media massa
konvensional dengan produk serupa oleh media yang menggunakan frekuensi
telekomunikasi. Dalam pasal 1 UU Pers dijelaskan, bahwa penyampaian informasi
dari kegiatan jurnalistik dilakukan dalam bentuk media cetak, elektronik, dan semua
saluran yang ada. Disini jelas tidak ada pembedaan antara produk jurnalistik
satu platform dengan platform lainnya. 2). Pada pasal 15 ayat
(2) huruf c disebutkan fungsi Dewan Pers yang antara lain menetapkan dan
mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dengan demikian, sesuai UU
Pers, tidak ada lembaga lain yang berfungsi serta memiliki kewenangan untuk
menetapkan dan mengawasi KEJ. Sedangkan di pasal yang sama huruf d UU Pers
menyatakan, fungsi Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan
penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan
pemberitaan pers. 3). Draf RUU Penyiaran
menyebutkan ditempuhnya mediasi (oleh KPI) jika terjadi sengketa. Itu hanya
mungkin dilaksanakan untuk siaran non berita. Jika dilakukan juga mediasi untuk
sengketa pemberitaan, maka hal ini seolah menafikan keberadaan pasal 15 ayat
(2) tersebut, khususnya huruf c dan d UU Pers. 4). Larangan penayangan
jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran juga bertentangan dengan pasal 4
ayat (2) UU Pers yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Dampak lainnya, larangan
itu akan membungkam kemerdekaan pers. Padahal jelas tertera dalam pasal 15 ayat
(2) huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari
campur tangan pihak lain. Dewan Pers: Revisi RUU
Penyiaran Ancam Kemerdekaan Pers 5). Peniadaan sensor
pemuatan berita itu buah dari reformasi. Pers dan masyarakat menghendaki
kemerdekaan dalam pemberitaan, sesuai dengan kaidah jurnalistik dan koridor
lain yang menuntut tanggung jawab pers. Sangat disayangkan jika kemerdekaan
pers dan kebebasan berekspresi itu kembali ditarik mundur dalam kehidupan
berbangsa yang seyogianya semakin demokratis. 6). Pada dasarnya pers
bekerja bukan untuk diri sendiri atau institusi tempatnya bekerja. Pers bekerja
dan menghasilkan karya jurnalistik untuk memenuhi hak publik dalam mendapatkan
informasi. Sedangkan hak publik untuk memperoleh informasi adalah hak asasi
manusia yang sangat hakiki. Oleh sebab itu, larangan menyiarkan sebuah karya
jurnalistik jelas bertentangan dengan hak asasi manusia. 7). Poin-poin di atas
mendasari Dewan Pers untuk mengajukan keberatan atau menyampaikan masukan
terhadap beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran agar tidak tumpang-tindih atau
bahkan kontradiktif dengan UU Pers. Dewan Pers juga telah
menggelar rapat bersama seluruh konstituen dan sepakat untuk meminta penundaan
revisi RUU Penyiaran dan memastikan pelibatan masyarakat yang lebih
luas.Jakarta, 14 Mei 2024Dewan Pers Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. Ketua Narahubung:1.
A. Sapto Anggoro – Wakil Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi. (rel/Faisal
Siregar)
0 Comments