Praktisi supranatural Indonesia.@Yusuf
Arifai/TIMES Indonesia
MAJALAHJURNALIS.Com
(Pacitan) – Berita tentang serangan brutal
militer Israel ke Palestina membuat hati kita terenyuh dan kepala kita
mendidih. Sebagai bangsa yang dikenal cinta damai, Indonesia tentu tak tinggal
diam. Demonstrasi, bantuan sosial, hingga lobi diplomasi sudah dilakukan. Tapi
ada satu jalur yang, mungkin, belum kita coba: santet.
Kita
tahu, Indonesia kaya akan dukun. Mereka bisa bikin orang sakit tanpa sentuhan,
bisa bikin paku keluar dari tubuh hanya dengan telur. Kalau santet ini begitu
sakti, kenapa nggak dicoba buat menghentikan tentara Israel?
Pertanyaan
ini sekilas nyeleneh, tapi bukankah di dunia modern ini segala sesuatu
seharusnya ada penjelasannya? Di sinilah kita perlu membuka kembali karya
antropolog Claude Levi-Strauss, "Dukun dan Sihirnya", yang terbit
tahun 1949.
Santet Bukan Cuma
Ritual
Menurut
Levi-Strauss, keberhasilan santet, atau apapun bentuk sihir, bukan hanya soal
ritual. Ada tiga unsur penting yang harus saling terikat, yang ia sebut sebagai
Kompleks Shamanistik:
Keyakinan Dukun
Pertama,
dukun harus percaya sepenuh hati pada teknik yang ia gunakan. Ritual apapun entah
membakar dupa atau membaca mantra akan gagal total jika dukunnya sendiri ragu.
Kepercayaan Target
Target
sihir, alias korban, juga harus percaya bahwa dirinya bisa kena santet. Kalau
korban merasa kebal, nggak percaya, atau bahkan nggak tahu bahwa dia sedang
disantet, maka sihir itu cuma jadi angin lalu.
Dukungan Masyarakat
Elemen
terakhir adalah lingkungan sosial. Masyarakat di sekitar korban harus percaya
pada sihir tersebut, karena kepercayaan mereka ikut mempengaruhi kondisi
psikologis si korban. Nah, kalau
salah satu unsur ini nggak ada, santet otomatis gagal total.
Tentara Israel dan
'Kebal' Santet
Balik
ke pertanyaan awal: kenapa tentara Israel nggak bisa disantet? Coba kita
analisis pakai teori Levi-Strauss. Unsur pertama jelas terpenuhi; dukun-dukun
kita pasti percaya pada ilmu mereka. Unsur ketiga juga ada; mayoritas
masyarakat Indonesia mendukung ide ini, setidaknya secara teori.
Masalahnya
ada di unsur kedua. Tentara Israel, yang hidup jauh dari budaya sihir, nggak
percaya sedikitpun pada hal-hal mistis semacam ini. Mereka bahkan mungkin nggak
tahu bahwa ada orang-orang di Nusantara yang sedang mencoba menyerang mereka
secara gaib. Tanpa kepercayaan korban, korelasi psikologis yang jadi syarat
sihir itu gagal tercipta.
Levi-Strauss
bilang, "Ketiga elemen dari apa yang kita sebut Kompleks Shamanistik itu
tidak dapat dipisah-pisahkan."
Dukun dan Zaman
Penjajahan
Kasus
ini mirip dengan masa penjajahan. Kenapa dulu dukun-dukun kita nggak bisa
menyantet penjajah Belanda? Sama saja: orang Belanda yang didatangkan dari
Eropa itu nggak percaya pada kekuatan dukun lokal. Akibatnya, santet pun nggak
mempan.
Jadi,
santet itu sebenarnya bukan cuma soal mantra, dupa, dan media seperti boneka
jerami. Santet adalah praktik psikologis yang bekerja lewat kepercayaan
kolektif. Tanpa kepercayaan ini, sehebat apapun dukunnya, ritualnya hanya jadi
aksi teatrikal belaka.
Maka,
daripada terus bertanya kenapa dukun kita tak bisa santet tentara Israel,
mungkin sebaiknya kita fokus ke hal yang lebih realistis mendukung Palestina
lewat diplomasi, donasi, atau doa. Karena di dunia nyata, kepercayaan juga tak
bisa dipaksa, apalagi jika korbannya jauh dari jangkauan.
Begitulah,
saudara-saudara. Santet, seperti kata Levi-Strauss, hanya bisa berhasil jika
ada "hubungan logis" yang saling mempercayai. Tanpa itu, lebih baik
kita taruh harapan pada yang lebih nyata. Bukankah begitu?.
Sumber
: TIMES Indonesia
0 Comments