Bima
Arya Sugiarto.@Antara/Rio Feisal
MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta)
- Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya
Sugiarto membuka peluang revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik. Bima mengatakan revisi UU Parpol itu berkaitan dengan revisi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada.
“Maka ada baiknya bagi kita juga untuk
membuka ruang diskusi-diskusi untuk pelembagaan dan peningkatan fungsi dari
partai politik,” kata Bima dalam sambutannya pada acara Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis, 30
Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.
Mantan Wali Kota Bogor, Jawa Barat,
itu menjelaskan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bersama DPR RI serta
pemangku kepentingan lain, seperti parpol dan akademisi, akan membenahi banyak
isu. Misalnya, isu keserentakan dan dampaknya terhadap kualitas pemilu atau
partisipasi pemilih.
Dia menuturkan isu lain yang akan
dibahas adalah proses gugatan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang
dinilai berdampak terhadap prinsip keserentakan pilkada. “Kita juga akan
berdiskusi tentang bagaimana kita mengevaluasi koordinasi antara KPU (Komisi
Pemilihan Umum), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan semua instansi terkait,”
ujarnya.
Bima juga menyebutkan isu proporsional
terbuka atau tertutup, hingga ambang batas pencalonan akan dibahas sebagai
bagian dari pembenahan sistem pemilihan di Indonesia. “Ambang batas pencalonan
kalau untuk mencalonkan presiden sudah nol, apakah kepala daerah juga terdampak
angka threshold-nya? Dan kita juga akan berdiskusi tentang bagaimana memastikan
agar aparat tetap netral dan sebagainya,” kata dia.
Menurut dia, peningkatan partisipasi
politik melalui pendidikan politik dan persoalan politik uang akan dibahas untuk
dibenahi oleh Kemendagri.
Dia menambahkan Kemendagri juga akan
berdiskusi mengenai revisi undang-undang tentang politik dengan model omnibus
law, atau kodifikasi politik secara terbatas. “Ini tentu plus dan minus, tetapi
yang pasti kita punya waktu yang panjang untuk memastikan bahwa yang kita
sepakati rumuskan itu komprehensif dan mencakup semua,” tuturnya.
Anggota DPR: Revisi Paket UU Politik
Tantangan 100 Hari Kerja Prabowo
Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR RI
Mohammad Toha menilai 100 hari kerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto
menghadapi tantangan perbaikan sistem politik, salah satunya dengan merevisi
paket undang-undang (UU) tentang politik.
“Perbaikan sistem politik itu bisa
dilakukan dengan revisi paket UU politik melalui sistem omnibus law, yang akan
menggabungkan banyak UU, seperti UU Pemilu, Pilkada, Partai Politik, dan UU
lainnya,” kata Toha dalam keterangan yang diterima di Jakarta pada Senin, 20
Januari 2025,
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) itu menyebutkan banyak hal yang harus diperbaiki dalam sistem politik di
Indonesia setelah pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. Misalnya,
mengenai pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif
(pileg). “PKB mengusulkan agar pelaksanaan pileg dan pilpres dipisah, yaitu
pileg dahulu baru kemudian pilpres," ujarnya.
Menurut dia, selama kedua pemilihan
itu digelar serentak, maka masyarakat lebih berfokus pada pilpres, sebaliknya
gelaran pileg kurang mendapatkan perhatian. “Akhirnya, para caleg yang
bertarung dalam pileg kurang mendapatkan atensi dari masyarakat. Pilpres lebih
diminati,” ucapnya.
Dia menilai sistem pelaksanaan pilkada
juga harus diperbaiki. Pemilihan gubernur secara langsung, kata dia, tidak
efektif dan efisien karena memakan anggaran yang sangat besar. “PKB mengusulkan
pilkada tingkat provinsi atau pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD
provinsi, tidak lagi melalui pemilihan langsung oleh masyarakat,” tuturnya.
Sebaliknya, dengan sistem pemilihan
gubernur melalui DPRD, maka dapat menghemat anggaran yang harus dikucurkan.
“Otonomi daerah sejatinya juga berada di tingkat kabupaten dan kota, bukan di
tingkat provinsi," kata dia.
Sumber : Tempo.co
0 Comments